11 Desember 2008

Stop Minum Kopi

Tetangga kami, Bu Alam pindah rumah. Mungkin karena sudah lama tidak melihat Bu Alam, ia bertanya kepada saya,
“Bu, kalau bu Alam kemana ya?”
“Sudah pindah rumah, sekarang pindah ke rumah anaknya.” Saya menjelaskan
“Kenapa pindah rumah?”
“Kan Pak Alam sudah meninggal, jadi Bu Alam nggak ada temennya.” Jawab saya. Memang, tetangga saya itu hanya tinggal berdua dengan mendiang suaminya.
“Kenapa Pak Alam meninggal?” tanya anak saya. (Hmm... repot deh kalau sudah mulai banyak pertanyaan ‘kenapa’)
“Karena Pak Alam sakit.”
“Sakit apa?”
“Sakit jantung”
“Kenapa sakit jantung?”
Saya berpikir dulu sebelum menjawabnya. “Karena banyak minum kopi!” jawab saya asal.
Dia terbelalak, lalu berteriak. “Pap, stop, stop minum kopi ya! Mulai sekarang Mpap jangan banyak-banyak minum kopi lagi. Biar Mpap nggak meninggal kayak Pak Alam!” Syanita berseru.
Suami saya tersenyum kecut. “Janji ya!” Syanita menambahkan.
“Mulai sekarang, Mpap nggak boleh banyak-banyak minum kopi. Kalau banyak-banyak minum madu, boleh!” katanya dengan gaya sok menasihati.
Betul juga kan nasihatnya? Suami saya yang pecandu berat kopi hanya manggut-manggut dengan wajah merana.

16 November 2008

Ambil Aja di ATM!

Sebagai penulis lepas, saya tidak punya penghasilan tetap. Kalau sedang ada order menulis atau ada artikel yang dimuat di media masa, saya mendapat honor lewat transfer bank. Biasanya saya mengambil uang dengan cara mencicil, tidak sekaligus. Jadi dalam sebulan saya bisa mengambil uang sampai 5 kali dan Syanita pasti saya ajak untuk mengambil uang. Karena sering diajak ke ATM, dia ketagihan ingin pergi ke ATM. Betapa senangnya dia melihat uang keluar dari ATM. Sampai-sampai di rumah dia suka main ATM-ATM-an. Ada kalanya dana di ATM kosong sama sekali. Pernah ketika sedang paceklik seperti itu, Syanita merengek ingin jalan-jalan dan beli sepatu. Wah, saya kelabakan. Lalu saya bilang kepadanya, “Nanti lagi ya sayang. Sekarang ibu lagi nggak punya uang!” saya menjelaskan dengan lemah lembut.
Syanita dengan enteng menjawab,”Ambil aja di ATM! Kan biasanya juga Ibu ambil uang di ATM!”
Ah ..., pusing deh jelasinnya!

Hidung untuk ..... ?

Seingat saya, sebelum Syanita berumur 1 tahun saya sudah mengajari anggota badan. Ini mata, ini hidung dsb. Kebiasaan setiap orang tua pasti seperti itu. Saya lupa tidak pernah mengajari apa kegunaan anggota tubuh. Suatu saat, saya penasaran apakah tanpa diberitahu, anak saya bisa menyimpulkan sendiri kegunaan anggota tubuh. Lalu saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
“Syanita, kalau mata buat apa sih?” tanya saya
“Buat kaca mata.” jawab Syanita. Saya sedikit kaget. Tidak salah sih jawabannya, tapi kok tidak kena sasaran ya?
“Kalau telinga buat apa?” saya bertanya lagi
“Buat anting.” Betul juga! Ya karena dia suka memakai anting.
“Kalau kaki?”
“Buat sepatu.” Tepat sekali.
“Kalau tangan?”
“Buat jam tangan.” Dia memang doyan memakai jam tangan.
“Kalau hidung?”
“Buat korong (bhs. Sunda = upil)!” jawab Syanita tanpa berpikir panjang.
Hah, korongl? Saya tertawa terbahak-bahak. Dia marah, karena merasa telah menjawab dengan benar.
Segera saya ajari seluruh kegunaan anggota tubuh. Akhirnya dia mengerti.

Syanita Suka Mesin Jahit

Mendiang ibu saya memiliki mesin jahit yang sudah lama kami titipkan di rumah seorang kerabat. Beberapa waktu belakangan saya teringat mesin jahit itu dan ingin mengambil kembali mesin jahit tua itu. Untungnya kerabat saya tidak keberatan karena memang tidak pernah menggunakannya lagi. Mesin jahit peninggalan almarhum ibu saya pun tiba di rumah. Melihat ada mesin jahit, mata Syanita terbelalak. “Ibu punya mesin jahit?” tanyanya.
“Iya, ini punya nenek. Sekarang mau ibu pake.” saya menjelaskan.
Lalu saya mengatakan kalau saya ingin membuat sprei dan baju Syanita. Anak kecil itu benar-benar antusias. Ia menelpon nenek dan aki, melaporkan bahwa di rumah kami sekarang ada mesin jahit. Syanita juga berkata kalau ibu ternyata pinter, bisa menjahit.
Ketika saya mencoba berlatih menjahit, Syanita memerhatikan saya. Dia terlihat senang sekali. Setelah saya selesai mencoba mesin jahit, dia berkata. “Ibu, aku seneeeeeeng sekali ibu punya mesin jahit. Aku seneeeeeng sekali lihat ibu menjahit.”
Saya hanya tersenyum, tapi diam-diam saya merasa bahwa dia sudah menyemangati saya agar lebih kreatif dan mau berkarya. Hmm... ngomong-ngomong saya kan memang lebih banyak menganggur.