29 Mei 2008

Belajar Hadis Nabi dari Syanita

Suatu hari saya memasak tumis pete kesenangan suami. Berbeda dari biasanya, suami saya makan dengan lahap. Mpap (dari kata Papap, panggilan putri kami, Sani kepada ayahnya), sampai nambah lagi. Saya hanya memerhatikan suami menikmati makanan favoritnya. Tiba-tiba Sani nyeletuk.
“Aduuh, itu yang lagi makan meni anteng!” (meni = sangat, anteng = asyik, bhs. Sunda. Meni anteng = asyik banget).
Saya tertawa, suami saya tertawa dengan rona wajah yang terlihat malu. Ayah saya, yang tinggal bersama kami tertawa terbahak-bahak.
“Ah, Syanita! Saya berkata, “Kasihan tuh Mpap, lagi makan enak dibilangin gitu sama kamu. Jadi aja Mpapnya malu mau nambah makan banyak!”
Suami saya memang meneruskan makannya, meski dengan perasaan tak karuan.
Saya hanya membatin, “Sani, anak pinter itu baru saja mengingatkan kami untuk berhenti makan sebelum kenyang, seperti anjuran Nabi Muhammad. Ia baru saja mengingatkan kami agar hidup sehat dengan mengurangi isi perut, seperti kebiasaan Nabi. Subhanallah, seru saya dalam hati. Seorang anak yang meski hanya melontarkan ucapan lucu, ‘Aduuh itu yang lagi makan meni anteng’ tapi Ia bisa menyampaikan sebuah pesan Nabi...”

Indahnya Bersyukur a la Si Kecil

Putri kami tidak terlalu sering diajak jalan-jalan, karena suami bekerja di Jakarta, sedangkan saya di Bandung. Tidak heran putri saya suka melihat dengan tatapan ‘tergiur’ melihat begitu seringnya tetangga kami membawa putra mereka berjalan-jalan naik mobil atau motor mereka. Putri saya kelihatan sangat ingin ikut tetangga, tapi tidak berani pergi tanpa saya. Dia memang masih berusia 3 tahun. Kadang dia merengek minta ikut pergi dengan tetangga kami—Om Ale, Tante Nina dan Revi alias Pipi—meski di perjalanan seringkali terlihat ‘tegang’ dan membuat tetangga saya cepat-cepat pulang. Suatu sore, putri saya merengek ingin ikut Pipi jalan-jalan sore bersama orang tuanya. Saya ijinkan karena dia memaksa. Hampir 1 jam kemudian mereka datang. Sani—putri saya seperti biasa ‘tegang’ di perjalanan. Begitu kata tetangga saya.
Ketika Sani turun dari mobil, Nina—tetangga saya mengajak ngobrol anak saya.
“Sani, seneng ya jalan-jalan sama Tante Nina, sama Om Ale, sama Pipi sore-sore! Asyik kan? Nanti mau lagi kan diajak jalan-jalan?”
“Nggak! Mau sama ibu sama Mpap aja! Naik vespa!”
Saya dan tetangga saya tertawa.
“Idiiiiih, punya vespa aja sombong! Enakkan naik mobil Pipi dong!” Canda tetangga saya.
“Nggak, enak naik vespa, sama ibu sama Mpap!” jawab anak saya.
Kami tertawa lagi mendengar jawaban putri saya.Diam-diam saya merasa terharu, bangga sekaligus senang mendengar jawaban polos putri saya. Ah, betapa dia telah mengajari kami untuk bersyukur dengan keadaan kami, meski belum mampu punya mobil, dia sangat senang dengan keadaan kami yang sederhana.

23 Mei 2008

Politik dan Keripik

Saya baru punya seorang putri berusia 3 tahun. Lagi lucu-lucunya. Cerewet. Tingkah lakunya sering membuat kami—orang tuanya, dan kakeknya yang serumah dengan kami tertawa terpingkal-pingkal.
Misalnya waktu ziarah ke makam almarhum ibu saya sebelum Ramadhan, saya ajak Sani ke pemakaman. Itu adalah pengalaman pertama baginya. Saya membawa kembang dan air dalam botol air mineral. Saya berdoa, saya menangis lalu kami kembali ke rumah. Pulang dari makam, tetangga saya yang punya anak sebaya putri saya bertamu seperti biasa. Anaknya laki-laki bernama Revi. Sementara kami—sesama ibu—mengobrol, anak-anak juga ngobrol. Kami akhirnya lebih tertarik mendengarkan obrolan Sani dan Revi.
“Pi, Ani tadi ke kuburan nenek.”
“Sama siapa?”
“Sama ibu sama Papap. Ibu nangis.”
“Pipi juga neneknya di kuburan.”
“Nenek Pipi lagi apa di kuburan?”
“Lagi diem aja.”
“Oh gitu”.
“Nenek Ani lagi apa di kuburan?”
“Nenek Ani mah lagi minum air putih.”
“Oh gitu!”
Saya dan tetangga saya terbelalak. Ha? Anak-anak bisa ngobrol seperti itu? Lalu saya tanya putri saya. “Ani, nenek lagi apa di kuburan?”
“Lagi minum air putih.”
Saya ingat, di makam tadi saya memang mengguyur kuburan ibu saya dengan air dari botol mineral. Langsung saya tertawa dan menjelaskan kepada ibunya Revi. Ia juga tertawa. “Ani, Ani. Pinter kamu!” katanya.
Meski baru berusia 3 tahun, Sani dan Revi memang suka ngobrol dengan gaya mereka. Mereka juga suka ikut dalam pembicaraan saya dan ibu Revi. Suatu hari misalnya, Ibu Revi menguji kemampuan putranya.
“Pi, kalau mobil Nenek Dea apa?”
“Avanza.”
“Kalau mobil Om Ari?”
“Kijang.”
“Mobil Ayah?”
“Carry.”
Suami saya tidak punya mobil tapi saya ikut nimbrung.
“Kalau mobil Papa Sani apa Pi?” tanya saya.
Revi diam. Anak saya yang menjawab dengan cepat. “Adanya Vespa.”
Saya dan ibunya Revi tertawa lepas.
Hampir setiap hari saya dan ibunya Revi berbagi cerita tentang kelucuan putra putri kami. Suatu hari ibunya Revi datang ke rumah sambil tertawa-tawa. “Bu Tita!” katanya, “Si Revi udah tahu politik lho!” Saya langsung tertawa. “Ah masa?” tanya saya.
“Kan gini, suami saya cerita ada temannya yang ditangkap polisi, sekarang ada di tahanan. Masalah politik, katanya.” Ibu Revi bercerita. “Tapi saya bilang sama suami saya. ‘Aku nggak ngerti, kok gara-gara politik bisa ditahan?’ Aku mah nggak ngerti politik”, tetangga saya menambahkan.
Eh, tiba-tiba Revi nyeletuk. “Mah, Pipi tahu politik.”
“Pipi tahu politik?”
“Iya, itu yang suka ada di warung!”
Tetangga saya berkata, “Saya dan suami saya bingung. Politik kok ada di warung? Akhirnya suami saya berkata.”
“Yang ada di warung mah keripik ‘kali Pi!”
“Oh iya. Sama kan?”
Saya dan suami saya tertawa mendengar cerita tetangga kami itu. Sani bersama saya ketika ibunya Revi bercerita. Setelah tetangga kami pulang, putri saya bertanya kepada kakeknya.
“Aki, tahu politik?”
Ayah saya kaget mendengar pertanyaan dari cucunya. “Nggak tahu! Ani tahu politik?” tanya ayah saya.
“Politik itu yang suka ada di warung!” jawab Sani mantap.
“Ada di warung? Kata siapa?” tanya ayah saya.
“Kata Pipi.”
Saya yang kebetulan mendengar obrolan Sani dan kakeknya langsung menjelaskan. Ayah saya tertawa terbahak-bahak. ***