16 November 2008

Ambil Aja di ATM!

Sebagai penulis lepas, saya tidak punya penghasilan tetap. Kalau sedang ada order menulis atau ada artikel yang dimuat di media masa, saya mendapat honor lewat transfer bank. Biasanya saya mengambil uang dengan cara mencicil, tidak sekaligus. Jadi dalam sebulan saya bisa mengambil uang sampai 5 kali dan Syanita pasti saya ajak untuk mengambil uang. Karena sering diajak ke ATM, dia ketagihan ingin pergi ke ATM. Betapa senangnya dia melihat uang keluar dari ATM. Sampai-sampai di rumah dia suka main ATM-ATM-an. Ada kalanya dana di ATM kosong sama sekali. Pernah ketika sedang paceklik seperti itu, Syanita merengek ingin jalan-jalan dan beli sepatu. Wah, saya kelabakan. Lalu saya bilang kepadanya, “Nanti lagi ya sayang. Sekarang ibu lagi nggak punya uang!” saya menjelaskan dengan lemah lembut.
Syanita dengan enteng menjawab,”Ambil aja di ATM! Kan biasanya juga Ibu ambil uang di ATM!”
Ah ..., pusing deh jelasinnya!

Hidung untuk ..... ?

Seingat saya, sebelum Syanita berumur 1 tahun saya sudah mengajari anggota badan. Ini mata, ini hidung dsb. Kebiasaan setiap orang tua pasti seperti itu. Saya lupa tidak pernah mengajari apa kegunaan anggota tubuh. Suatu saat, saya penasaran apakah tanpa diberitahu, anak saya bisa menyimpulkan sendiri kegunaan anggota tubuh. Lalu saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
“Syanita, kalau mata buat apa sih?” tanya saya
“Buat kaca mata.” jawab Syanita. Saya sedikit kaget. Tidak salah sih jawabannya, tapi kok tidak kena sasaran ya?
“Kalau telinga buat apa?” saya bertanya lagi
“Buat anting.” Betul juga! Ya karena dia suka memakai anting.
“Kalau kaki?”
“Buat sepatu.” Tepat sekali.
“Kalau tangan?”
“Buat jam tangan.” Dia memang doyan memakai jam tangan.
“Kalau hidung?”
“Buat korong (bhs. Sunda = upil)!” jawab Syanita tanpa berpikir panjang.
Hah, korongl? Saya tertawa terbahak-bahak. Dia marah, karena merasa telah menjawab dengan benar.
Segera saya ajari seluruh kegunaan anggota tubuh. Akhirnya dia mengerti.

Syanita Suka Mesin Jahit

Mendiang ibu saya memiliki mesin jahit yang sudah lama kami titipkan di rumah seorang kerabat. Beberapa waktu belakangan saya teringat mesin jahit itu dan ingin mengambil kembali mesin jahit tua itu. Untungnya kerabat saya tidak keberatan karena memang tidak pernah menggunakannya lagi. Mesin jahit peninggalan almarhum ibu saya pun tiba di rumah. Melihat ada mesin jahit, mata Syanita terbelalak. “Ibu punya mesin jahit?” tanyanya.
“Iya, ini punya nenek. Sekarang mau ibu pake.” saya menjelaskan.
Lalu saya mengatakan kalau saya ingin membuat sprei dan baju Syanita. Anak kecil itu benar-benar antusias. Ia menelpon nenek dan aki, melaporkan bahwa di rumah kami sekarang ada mesin jahit. Syanita juga berkata kalau ibu ternyata pinter, bisa menjahit.
Ketika saya mencoba berlatih menjahit, Syanita memerhatikan saya. Dia terlihat senang sekali. Setelah saya selesai mencoba mesin jahit, dia berkata. “Ibu, aku seneeeeeeng sekali ibu punya mesin jahit. Aku seneeeeeng sekali lihat ibu menjahit.”
Saya hanya tersenyum, tapi diam-diam saya merasa bahwa dia sudah menyemangati saya agar lebih kreatif dan mau berkarya. Hmm... ngomong-ngomong saya kan memang lebih banyak menganggur.

10 November 2008

Syanita sudah bisa Promosi Madu

Sekarang Syanita sudah sekolah di TK. Setiap hari semangat pergi sekolah. Dia sudah punya sahabat namanya Arsylia. Dua anak itu rajin ngerumpi di kelas. Ha ha ha... anak-anak 4 tahun ngerumpi di kelas! Bu Yuli, guru TK, pernah melapor kepada saya dan ibu Arsylia, “Bu, anak-anaknya suka asyik ngobrol aja di kelas.”
Dalam beberapa bulan terakhir, saya berjualan madu di rumah, karena kebetulan saya berkenalan dengan seorang pawang lebah yang pengusaha peternakan lebah dan menjual madu. Setiap hari Syanita saya beri sesendok madu. Kalau sedang pilek, saya tambah dosis madunya. Dia sudah terbiasa denga madu. Suatu hari Arsylia sakit, flu, batuk dan demam. Tapi ia tetap bersekolah. Rupanya, Syanita menasihati temannya itu agar minum madu. Bubar sekolah Arsylia berkata pada umi-nya. “Umi, kata Syanita, aku harus minum madu biar sehat. Syanita juga nggak suka sakit karena minum madu.” Umi Asrylia melirik kepada saya. “Ih, dasar anak penjual madu, kecil-kecil udah pinter promosi madu kayak ibunya aja!”

Aki Masih Ada Umur

Suatu hari Syanita bertanya, “Bu kenapa Nenek Iwing (mendiang ibu saya) meninggal?”
“Karena sakit.” jawab saya
“Kenapa Aki nggak meninggal?”
Wah, saya kelabakan. “Karena aki masih ada umurnya!” Itulah jawaban yang bisa saya berikan.
Saya tidak menyangka kalau jawaban saya yang sepintas itu akan diingat terus oleh anak saya. Beberapa waktu kemudian Syanita bertanya kepada aki-nya. “Aki, kenapa belum meninggal?” Aki tersentak kaget. Belum siap dengan jawaban, ternyata Syanita sudah memberikan jawaban sendiri. “Karena aki masih ada umurnya.” kata Syanita mantap. Aki terkesima.
“Oh, iya betul!” kata aki. “Tahu dari mana kamu?” tanya aki.
“Iya, kalau belum meninggal itu karena masih ada umurnya.” Syanita menjelaskan. Aki hanya mengangguk setuju. Lalu dengan iseng aki bertanya,
“Kalau aki kapan meninggalnya ya?”
Dengan cepat Syanita menjawab,
“Tahun depan!” Aki tertegun.
Saya yang kebetulan mendengarkan percakapan mereka ikut tertegun.
“Ih, Syanita, ngawur aja kamu!” kata saya.
Kata aki, “Nggak apa-apa tahun depan juga, aki kan sudah 73 tahun. Tua!”
Lalu aki berkata kepada saya, “Wah, bapa jadi takut, harus giat ibadah nih, jangan-jangan bener kata Syanita!” Saya hanya terbengong-bengong. Speechless.