11 Desember 2008

Stop Minum Kopi

Tetangga kami, Bu Alam pindah rumah. Mungkin karena sudah lama tidak melihat Bu Alam, ia bertanya kepada saya,
“Bu, kalau bu Alam kemana ya?”
“Sudah pindah rumah, sekarang pindah ke rumah anaknya.” Saya menjelaskan
“Kenapa pindah rumah?”
“Kan Pak Alam sudah meninggal, jadi Bu Alam nggak ada temennya.” Jawab saya. Memang, tetangga saya itu hanya tinggal berdua dengan mendiang suaminya.
“Kenapa Pak Alam meninggal?” tanya anak saya. (Hmm... repot deh kalau sudah mulai banyak pertanyaan ‘kenapa’)
“Karena Pak Alam sakit.”
“Sakit apa?”
“Sakit jantung”
“Kenapa sakit jantung?”
Saya berpikir dulu sebelum menjawabnya. “Karena banyak minum kopi!” jawab saya asal.
Dia terbelalak, lalu berteriak. “Pap, stop, stop minum kopi ya! Mulai sekarang Mpap jangan banyak-banyak minum kopi lagi. Biar Mpap nggak meninggal kayak Pak Alam!” Syanita berseru.
Suami saya tersenyum kecut. “Janji ya!” Syanita menambahkan.
“Mulai sekarang, Mpap nggak boleh banyak-banyak minum kopi. Kalau banyak-banyak minum madu, boleh!” katanya dengan gaya sok menasihati.
Betul juga kan nasihatnya? Suami saya yang pecandu berat kopi hanya manggut-manggut dengan wajah merana.

16 November 2008

Ambil Aja di ATM!

Sebagai penulis lepas, saya tidak punya penghasilan tetap. Kalau sedang ada order menulis atau ada artikel yang dimuat di media masa, saya mendapat honor lewat transfer bank. Biasanya saya mengambil uang dengan cara mencicil, tidak sekaligus. Jadi dalam sebulan saya bisa mengambil uang sampai 5 kali dan Syanita pasti saya ajak untuk mengambil uang. Karena sering diajak ke ATM, dia ketagihan ingin pergi ke ATM. Betapa senangnya dia melihat uang keluar dari ATM. Sampai-sampai di rumah dia suka main ATM-ATM-an. Ada kalanya dana di ATM kosong sama sekali. Pernah ketika sedang paceklik seperti itu, Syanita merengek ingin jalan-jalan dan beli sepatu. Wah, saya kelabakan. Lalu saya bilang kepadanya, “Nanti lagi ya sayang. Sekarang ibu lagi nggak punya uang!” saya menjelaskan dengan lemah lembut.
Syanita dengan enteng menjawab,”Ambil aja di ATM! Kan biasanya juga Ibu ambil uang di ATM!”
Ah ..., pusing deh jelasinnya!

Hidung untuk ..... ?

Seingat saya, sebelum Syanita berumur 1 tahun saya sudah mengajari anggota badan. Ini mata, ini hidung dsb. Kebiasaan setiap orang tua pasti seperti itu. Saya lupa tidak pernah mengajari apa kegunaan anggota tubuh. Suatu saat, saya penasaran apakah tanpa diberitahu, anak saya bisa menyimpulkan sendiri kegunaan anggota tubuh. Lalu saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
“Syanita, kalau mata buat apa sih?” tanya saya
“Buat kaca mata.” jawab Syanita. Saya sedikit kaget. Tidak salah sih jawabannya, tapi kok tidak kena sasaran ya?
“Kalau telinga buat apa?” saya bertanya lagi
“Buat anting.” Betul juga! Ya karena dia suka memakai anting.
“Kalau kaki?”
“Buat sepatu.” Tepat sekali.
“Kalau tangan?”
“Buat jam tangan.” Dia memang doyan memakai jam tangan.
“Kalau hidung?”
“Buat korong (bhs. Sunda = upil)!” jawab Syanita tanpa berpikir panjang.
Hah, korongl? Saya tertawa terbahak-bahak. Dia marah, karena merasa telah menjawab dengan benar.
Segera saya ajari seluruh kegunaan anggota tubuh. Akhirnya dia mengerti.

Syanita Suka Mesin Jahit

Mendiang ibu saya memiliki mesin jahit yang sudah lama kami titipkan di rumah seorang kerabat. Beberapa waktu belakangan saya teringat mesin jahit itu dan ingin mengambil kembali mesin jahit tua itu. Untungnya kerabat saya tidak keberatan karena memang tidak pernah menggunakannya lagi. Mesin jahit peninggalan almarhum ibu saya pun tiba di rumah. Melihat ada mesin jahit, mata Syanita terbelalak. “Ibu punya mesin jahit?” tanyanya.
“Iya, ini punya nenek. Sekarang mau ibu pake.” saya menjelaskan.
Lalu saya mengatakan kalau saya ingin membuat sprei dan baju Syanita. Anak kecil itu benar-benar antusias. Ia menelpon nenek dan aki, melaporkan bahwa di rumah kami sekarang ada mesin jahit. Syanita juga berkata kalau ibu ternyata pinter, bisa menjahit.
Ketika saya mencoba berlatih menjahit, Syanita memerhatikan saya. Dia terlihat senang sekali. Setelah saya selesai mencoba mesin jahit, dia berkata. “Ibu, aku seneeeeeeng sekali ibu punya mesin jahit. Aku seneeeeeng sekali lihat ibu menjahit.”
Saya hanya tersenyum, tapi diam-diam saya merasa bahwa dia sudah menyemangati saya agar lebih kreatif dan mau berkarya. Hmm... ngomong-ngomong saya kan memang lebih banyak menganggur.

10 November 2008

Syanita sudah bisa Promosi Madu

Sekarang Syanita sudah sekolah di TK. Setiap hari semangat pergi sekolah. Dia sudah punya sahabat namanya Arsylia. Dua anak itu rajin ngerumpi di kelas. Ha ha ha... anak-anak 4 tahun ngerumpi di kelas! Bu Yuli, guru TK, pernah melapor kepada saya dan ibu Arsylia, “Bu, anak-anaknya suka asyik ngobrol aja di kelas.”
Dalam beberapa bulan terakhir, saya berjualan madu di rumah, karena kebetulan saya berkenalan dengan seorang pawang lebah yang pengusaha peternakan lebah dan menjual madu. Setiap hari Syanita saya beri sesendok madu. Kalau sedang pilek, saya tambah dosis madunya. Dia sudah terbiasa denga madu. Suatu hari Arsylia sakit, flu, batuk dan demam. Tapi ia tetap bersekolah. Rupanya, Syanita menasihati temannya itu agar minum madu. Bubar sekolah Arsylia berkata pada umi-nya. “Umi, kata Syanita, aku harus minum madu biar sehat. Syanita juga nggak suka sakit karena minum madu.” Umi Asrylia melirik kepada saya. “Ih, dasar anak penjual madu, kecil-kecil udah pinter promosi madu kayak ibunya aja!”

Aki Masih Ada Umur

Suatu hari Syanita bertanya, “Bu kenapa Nenek Iwing (mendiang ibu saya) meninggal?”
“Karena sakit.” jawab saya
“Kenapa Aki nggak meninggal?”
Wah, saya kelabakan. “Karena aki masih ada umurnya!” Itulah jawaban yang bisa saya berikan.
Saya tidak menyangka kalau jawaban saya yang sepintas itu akan diingat terus oleh anak saya. Beberapa waktu kemudian Syanita bertanya kepada aki-nya. “Aki, kenapa belum meninggal?” Aki tersentak kaget. Belum siap dengan jawaban, ternyata Syanita sudah memberikan jawaban sendiri. “Karena aki masih ada umurnya.” kata Syanita mantap. Aki terkesima.
“Oh, iya betul!” kata aki. “Tahu dari mana kamu?” tanya aki.
“Iya, kalau belum meninggal itu karena masih ada umurnya.” Syanita menjelaskan. Aki hanya mengangguk setuju. Lalu dengan iseng aki bertanya,
“Kalau aki kapan meninggalnya ya?”
Dengan cepat Syanita menjawab,
“Tahun depan!” Aki tertegun.
Saya yang kebetulan mendengarkan percakapan mereka ikut tertegun.
“Ih, Syanita, ngawur aja kamu!” kata saya.
Kata aki, “Nggak apa-apa tahun depan juga, aki kan sudah 73 tahun. Tua!”
Lalu aki berkata kepada saya, “Wah, bapa jadi takut, harus giat ibadah nih, jangan-jangan bener kata Syanita!” Saya hanya terbengong-bengong. Speechless.

20 Juli 2008

Balas Budi? Insya Allah

Syanita sering masuk angin. Biasanya penderitaannya berakhir kalau Ia muntah. Tapi, untuk muntah, sulit sekali. Karena itu, kalau terpaksa sampai muntah, saya siap menadahkan tangan saya untuk menampung muntahnya. Kebiasaan yang sama dialami Revi. Kata Nina, teman saya, Ia juga selalu siap menampung muntah Revi dengan tangannya. Mungkin semua orang tua begitu, siap melakukan apa saja untuk anaknya.

Nina sekarang hamil lagi. Bulan pertama, sedang pusing-pusingnya, tidak enak perasanaan dan sering mual tapi tidak muntah. Nina bercerita, suatu ketika, mualnya tidak tertahankan. Rasanya ingin muntah tapi tidak bisa. “Saya hanya mengeluh!” kata Nina. “Tahu nggak apa yang dilakukan Revi?” cerita Nina kepada saya. “Revi bilang begini. ‘Mama, mau muntah? Sok, silakan!’ Tangannya siap menampung muntah saya!” Nina bercerita sambil tertawa. “Aduuh ...! Saya jadi terharu!” tambah Nina. Saya ikut tertawa dan terhenyak. Dalam hati saya berkata, “Revi, Revi! Kecil-kecil sudah mau membalas budi orang tua. Mudah-mudahan akan selalu begitu! Amiin...”

Mamah Syanita, Papah Revi

Kalau sedang main bersama, yang dilakukan Syanita dan Revi biasanya adalah memainkan semua mainan. Mereka baru puas kalau sudah berantakan dan semua mainan diobrak-abrik.

Mungkin karena sudah bosan mengobrak-abrik mainan, sekarang Syanita dan Revi bermain Mamah-Papah. Saya sendiri heran, siapa yang mengajari mereka? Kenapa mereka bisa menjadi Mamah dan Papah? Dengan diam-diam saya sering memerhatikan keduanya. Misalnya seperti ini.

“Pah, mau sarapan? Mamah bikin nasi goreng ya?”
“Ya, mau!”

Kemudian Syanita mengambil kompor dan wajan mainannya. Dia berpura-pura masak nasi goreng. Revi memerhatikannya. “Jangan pedes, ya Mah!” kata Revi.
Saya tersenyum. Terus terang, saya pun tidak pernah se’mesra’ itu dengan suami.

Kemudian Revi pura-pura keluar rumah dan naik sepeda. “Mah, Papah pulang!” teriak Revi.

Lagi-lagi saya tersenyum. Lucu sekali mereka. Kemudian mereka pura-pura makan bersama memakai piring mainan. Romantis...!

Kalau sedang bermain Mamah-Papah, Syanita dan Revi tidak pernah berantem. Wajah mereka berseri-seri. Mata berbinar-binar. Saya jadi tertawa sendiri. “Harusnya memang begitu yang diperlihatkan suami dan istri ketika bersama! Wajah berseri-seri, mata berbinar-binar. ” Hmmm... ternyata benar, kita harus banyak dari anak-anak!

03 Juli 2008

Syanita Cepat Tanggap 2

Belanja bulanan ke supermarket ‘X’ dekat rumah kami yang ada arena bermain dan restoran fastfood yang ada perosotannya adalah hal yang ditunggu-tunggu Syanita. Dia sering memeriksa lemari makanan dan memeriksa susunya masih ada atau tidak. Kalau sudah kosong, dia akan memaksa saya belanja ke “X”. Itu artinya saya dan suami harus menemani Syanita sampai 3 jam di arena bermain dan makan sambil main perosotan. Ritualnya tidak boleh berubah, beli susu, main di arena bermain lantai3, terus ke restoran burger. Pulang sambil makan eskrim. Hmmm ...

Suatu hari susunya hampir habis, Syanita dengan senyum lebar mengajak saya belanja. Karena belum makan siang, saya berkata begini kepadanya:
“Syanita kan belum makan, belum istirahat, kalau mau belanja terus main tapi belum makan, belum istirahat, nggak enak. Badannya lemes!” Maksud saya, dia makan dulu di rumah terus bobo siang dulu dan belanja sore hari. Tapi Syanita dengan cepat menjawab:
“Ya udah kalau gitu, jangan beli susu dulu, kita makan dulu di McD, nggak main perosotan. Kalau aku udah kenyang baru main perosotan sambil makan es krim terus beli susu, terus main ke atas, terus pulang.”
Saya melongo. Suami saya terbahak-bahak.
“Wah, ibu nggak bisa jawab tuh!” kata suami saya.
Terus terang saya kehilangan kata-kata untuk menjawabnya. “Jawaban yang pinter!” pikir saya dalam hati. Saya dan suami mengalah, menemami Syanita makan, beli susu dan main. Ritual pun sudah mulai berubah!

Syanita Cepat Tanggap 1

Suatu hari kami menginap di rumah nenek dan Aki Enang (mertua saya) di Soreang. Keesokan harinya, kami siap pulang. Tiba-tiba suami saya mendadak lemas. Akhirnya dia malah tiduran. Padahal Syanita sudah ingin pulang ke rumah Aki. Dia menangis.
“Mpap, jangan sakit, aku mau pulang!” katanya.
Tapi suami saya tidak bergeming. Malah tidur.
“Nggak kuat, nanti aja pulangnya.” Suami saya berkata.
Syanita menangis. Nenek jadi khawatir. “Ya udah, Syanita pulang sama Aki Enang aja ya!” kata Nenek.
“Nggak mau, mau sama Mpap, sama Ibu!”
Wah repot kalau sudah begitu. Saya bujuk Syanita, “Kalau mau pulang sekarang, sama Aki Enang. Kalau mau sama Mpap, nanti sore kalau Mpap nggak lemes badannya!” Syanita berteriak, “Mau sekarang sama Mpap sama ibu!”
Akhirnya saya mencari akal agar dia mau pulang dibonceng Aki Enang karena saya juga khawatir melihat suami. “Syanita, kita pulang duluan terus ke rumah Revi, terus kita ke Soreang sama Om Ale jemput Mpap pake mobil Om Ale. Kasihan tuh Mpapnya sakit, harus naik mobil. Ya?”
Dengan cepat Syanita menjawab, “Telpon aja Om Alenya, suruh datang ke sini jemput Mpap!”
Saya melongo. Nenek tertawa lepas. “Pinter banget jawabannya!” kata Nenek. Saya tidak menyangka Syanita akan menjawab seperti itu. Itu adalah jawaban yang jitu. Meski ingin tertawa, saya pura-pura tidak mengerti maksudnya. Lalu saya mencari akal lagi.
“Gini sayang, Mpap kan sakit, kita beliin obatnya yuk, di apotik, perginya sama Aki Enang ya! Biar Mpap sembuh!” saya membujuknya.
Lagi-lagi Syanita menjawab dengan cepat, “Ibu aja yang beli obat ke apotik, aku tunggu di sini sama nenek!”
Lagi-lagi nenek tertawa terbahak-bahak dan berkata “Ih, pinter amat jawabnya!” Lagi-lagi saya melongo, tidak menyangka Syanita akan menjawab begitu. Akhirnya saya menyerah. Tidak lagi membujuk-bujuk Syanita pulang dengan Aki Enang. Saya lalu menawari suami makan lagi. “Makan banyak terus tidur dulu, mudah-mudahan nggak lemes lagi!” kata saya. Suami menurut. Alhamdulillah, setelah makan, kami bertiga tidur siang. Bangun sore hari, badan sangat segar, dan kami bisa pulang bertiga. “Gitu aja kok repot!” batin saya.

25 Juni 2008

Anak-anak Soleh?!

Tetangga saya, Nina, putranya sebaya dengan Syanita. Revi, teman Syanita sejak bayi, hampir tiap hari main bersama. Kadang kami menyebutnya ‘soulmate’ saking akurnya mereka.

Karena seringnya Syanita main di rumah Revi, dia sudah tahu betul perilaku Tante Nina. Diam-diam Syanita sering mengagumi Tante Nina. Pulang dari rumah Revi misalnya, Syanita meminta saya membuat telur dadar, “kaya Tante Nina, Bu, pake mentega!”

Pernah waktu saya terserang batuk agak lama, ketika tidur siang atau malam saya tak kuat menahan batuk dan Syanita terbangun. Dia menangis dan berkata, “Bu, jangan batuk aja, kaya Tante Nina, nggak batuk!”

Pernah pula Syanita menegur saya, “Coba ibu bisa naik motor, kaya Tante Nina! Tapi, ah, Ibu mah takut ya?”

Saking seringnya dia membandingkan saya dengan Tante Nina, tetangga saya itu menggoda saya, jangan-jangan nanti Syanita minta ibu pake baju seksi kaya Tante Nina! “Wah gawat! Apa mungkin ya?” Saya jadi bertanya-tanya di dalam hati.

Tapi, Alhadulillah, sampai saat ini Syanita tidak pernah meminta saya pake baju seksi atau dandan ‘lengkap.’ Mungkin Syanita tahu, ibunya tidak bisa begitu.

Yang kaget malah tetangga saya sendiri. Nina bercerita,
“Bu Tita, waktu saya dandan, saya ditegur sama Revi, katanya, ‘Mah jangan pake baju itu atuh, malu! Nih... Pipi ambilin kerudung ya.’”

Kami tertawa. “Kirain Bu Tita yang mau cerita disuruh pake baju seksi sama Syanita, ternyata malah saya yang disuruh pake kerudung sama Revi!” Tetangga saya berkata sambil tertawa “Dasar anak-anak soleh!” dia menambahkan. Amiin!

20 Juni 2008

Syanita – Jujur dan Teguh

Karena suami berkantor di lantai atas rumah kami, sehari-hari ada di rumah, keluar rumah kalau ada urusan. Suatu hari, pulang dari rumah temannya, (meskipun belum 4 tahun sudah senang main di rumah temannya) Syanita mencari-cari Mpapnya. Dia naik ke lantai atas tapi Mpap tidak ada. Saya sedang menyetrika. Saya mendiamkan saja, karena suami ada di kamar.
“Bu, Mpap mana?”
Bukannya menjawab jujur saya malah menggodanya.
“Mpap pergi.”
“Kok aku nggak diajak ya?” jawabnya memelas.
Saya terus menggodanya.
“Enakkan nggak ada Mpap ya!” pancing saya
Syanita melihat ke arah saya. Tidak langsung menjawab pancingan saya.
“Ibu mah lebih seneng nggak ada Mpap di rumah, nggak ada yang berisik!” saya terus memancing.
Akhirnya dia menjawab dengan ragu-ragu “Iya ya.. Seneng nggak ada Mpap!”
Tapi matanya menerawang.
“Nggak Bu, aku mah senang di rumah ada Mpap!”
Saya yakin suami saya mendengar semuanya, karena kamar tak jauh dari tempat saya menyetrika.
“Ibu mah nakal. Aku mah suka Mpap ada di rumah!”
Sambil berkata begitu Syanita berlari ke kamar. Pecah suara tawa dari dalam kamar. Mpap tertawa disusul Syanita. Terdengar suami saya bertanya, “Tadi bilang apa?”
“Aku mah bilang, aku seneng ada Mpap. Ibu yang bilang nggak seneng katanya, Mpap! Bukan aku.” Syanita menjawab dengan penuh kepastian.
“Ya, Mpap juga denger” balasnya.
Saya hanya ikut tertawa. Wah, bangga sekali suami saya karena pengakuan putrinya itu. Saya senang karena anak saya tidak mudah dipengaruhi, meskipun oleh ibunya sendiri.

19 Juni 2008

Syanita Tidak Suka Argumentasi

Syanita senang sekali mendengarkan cerita saya. Cerita yang saya buat mendadak ketika dia hendak tidur, atau cerita dari buku-buku kesayangannya. Tidak jarang saya mengarang dongeng dengan ‘misi’ tertentu. Misalnya untuk melarang Syanita makan permen loli, saya membuat cerita tentang “Lolita yang sakit gigi tidak bisa main dengan teman-temannya.” Suatu malam, terlintas dalam benak saya untuk bercerita tentang anak yang tidak suka pergi berbelanja ke supermarket dan main di arena permainannya. Sengaja saya mengarang seperti itu karena anak saya sering memaksa saya dan suami ke supermarket “X” dekat rumah saya, untuk jajan, ke arena permainan anak dan makan di restoran fastfood. Setelah saya bercerita, Syanita tidak berkomentar apa-apa.

Kemudian saya bercerita tentang anak yang tidak suka main di King’s Fun World. Sengaja saya rekayasa seperti itu, karena saya pikir anak saya sudah terlalu ketagihan main di arena permainan di pusat-pusat perbelanjaan. Saya bercerita tentang anak yang suka main tetapi kalau diajak ke King’s Fun World, dia hanya main sebentar dan memilih pulang untuk main di lapangan dekat rumah bersama teman-temannya.

Selesai bercerita, Syanita hanya berkomentar seperti ini. “Tapi aku mah suka main di King’s! Ya udah, Bu, cerita si burung hantu aja!”

Saya terheran-heran dengan jawaban singkat dan permintaan Syanita. Saya pikir dia akan marah kepada saya karena bercerita tidak sesuai dengan keinginannya. Ternyata dia hanya meminta saya bercerita yang lain. Tapi saya jadi kagum juga kepada putri saya itu. “Rupanya Syanita tidak suka beradu argumentasi. Dia memilih jalan lain yang ‘aman’, daripada harus ‘berantem’ dengan saya!” Saya pikir, itu adalah langkah bijak! Ya, bijak juga dia! Daripada harus melawan atau memprotes saya, yang akhirnya membuat kami harus beradu argumentasi, mengalah dan meminta saya mengalihkan topik adalah pilihan yang aman. Setuju?

17 Juni 2008

Minta Susu ala Syanita

Meski sudah hampir 4 tahun, Syanita masih minum susu botol. Biasanya kalau ingin minum susu dia hanya berkata, “Mau susu!” Kalau saya tidakmenghiraukannya, dia memperkuat intonasi suaranya, “Mau susu, sekarang!” Sebenarnya saya kurang setuju kalau Syanita terlalu banyak minum susu, karena itu saya sering menghiraukan permintaannya. Lama-lama ia malu sendiri karena terlalu sering minta susu. Ia punya cara tidak langsung minta susu, dan mengatakan seperti ini.
“Bu, aku mau bobo, tapi kok mulut aku diem aja ya... nggak ada isinya?”
Saya sebenarnya kaget dan ingin tertawa mendengar perkataannya, karena saya tahu betul apa yang dimaksud anak saya: minta susu!
Kalau sudah diminta dengan kata-kata seperti itu biasanya saya hanya tersenyum dan segera membuatkan susu untuknya.
Pada kesempatan lain, Syanita berkata seperti ini.
“Bu, apa itu yang di atas kulkas, yang coklat-coklat yang ada di tempat yang warnanya kuning, kok dari tadi aku belum nyicipin, ya?”
Diam-diam saya tertawa dalam hati. Saya kaget mendengar ucapan Syanita yang meminta susu dengan cara seperti itu. Saya sangat mengerti maksudnya, yang coklat-coklat itu adalah susu coklat, tempat warna kuning adalah tempat saya menaruh susu bukuk coklat itu.
Saya hanya berkata, “Bilang aja kamu mau susu!” Lalu saya membuatkan susu untuknya.
Lain lagi ketika pada suatu malam, ketika sudah siap tidur, Syanita mengepalkan tangan diatas mulutnya, dan berkata seperti ini: “Eh, kok di dalam tangan aku nggak ada apa-apanya ya Bu?” Syanita memperlihatkan gaya sedang memegang botol susu, tapi tanpa botol. Saya dan suami jadi tertawa terbahak-bahak. Dengan cara yang kreatif untuk meminta susu, saya dan suami tidak pernah bisa untuk menolaknya. Karena kreatif, sudah sepantasnya Syanita mendapatkan apa yang diinginkannya! Setuju?

TTS dan Syanita

Ayah saya sengaja membeli koran eceran setiap hari untuk mendapatkan Teka Teki Silang (TTS). “Biar otak nggak pelupa, diasah terus ngisi TTS,” kata aki-nya Syanita itu.

Itu sebabnya setiap hari ayah saya terlihat berpikir keras menyelesaikan TTS-nya. Syanita ternyata memerhatikan kebiasaan baru kakeknya, kemudian bertanya,
“Aki lagi apa?”
“Ngisi TTS” jawab ayah saya santai
Syanita kemudian memerhatian TTS, lalu menunjuk sesuatu sambil berteriak. “Ini kok masih kosong, nggak ada isinya!”
“Iya, aki nggak tahu jawabannya.”
“Kenapa nggak tahu?”
“Aki lupa”
“Kenapa lupa?”
Ayah saya tertawa, “Nanti aki lagi mikir dulu!”

Besoknya, pagi-pagi ketika aki sedang membaca koran, Syanita lalu mendekati.
“Ki, coba aku lihat TTS-nya.”
Aki menyodorkan koran. Syanita lalu mencari halaman TTS. “Kok, ini masih kosong, koo masih kosong!”
“Aki nggak tahu jawabannya!”

Ayah saya tertawa malu, lalu melihat ke arah saya. “Wah, jadi harus bener-bener ngisi TTS-nya. Aki malu sama Syanita!”
“Aki, kok nggak bisa? Diisi atuh,” anak saya berkata lantang.

Karena Syanita, ayah saya jadi sangat tekun mengisi TTS, kalau ada yang masih kosong, bertanya kepada saya. Pokoknya ayah saya selalu berusaha mencari tahu jawaban pertanyaan TTS yang unik. Kadang, kalau ada telpon, aki memanfaatkannya untuk bertanya jawaban TTS. Saya sering tertawa kalau melihat ayah sibuk bertanya kesana-kemari. “Daripada diomelin Syanita, nggak penuh ngisi TTS-nya.” Kata ayah saya.
Diam-diam saya juga jadi terpacu untuk berpikir demi membantu ayah saya menyelesaikan TTS-nya, daripada diomelin anak saya. Diam-diam Syanita sudah membuat kami mau terus berusaha, tidak menyerah pada keadaan!

03 Juni 2008

Belajar Adil dari Syanita

Kalau ditanya, anak saya biasanya menjawab dengan cepat. Jawabannya enteng, lucu, dan mengagetkan. Seperti ini misalnya,

“Syanita, anak kesayangan siapa? Ibu atau Mpap?” Saya pikir Ia mau menjawab
‘ibu’ saja atau ‘Mpap’ saja, karena saya mempersilakan Ia memilih. Ternyata putri saya menjawab dengan tegas.
“Kesayangan Ibu sama Mpap!”
Saya tersentak. Hmm... jawabannya bagus sekali. Kecil-kecil dia sudah bisa bersikap adil kepada orang tua... . Diam-diam saya merasa diajari untuk bersikap ‘adil’ juga.

Suatu hari saya bercanda dengan putri saya. Saya berkata begini, “Syanita anak kesayangan ibu. Mpap bukan anak kesayangan ibu!”
“Ya iya lah. Mpap mah anak kesayangan nenek!”
Saya tertawa. Saya pikir dia tidak akan menjawab begitu.
“Syanita disayang ibu!” Saya berkata. Ia menimpali dengan cepat, “Dan Mpap!” Saya sedikit kaget, tak menyangka Ia akan melanjutkan ucapan saya. Kemudian saya pancing dia.
“Kalau Mpap disayang siapa ya?” Saya pikir dia akan menjawab, disayang nenek! Ternyata putri saya menjawab, “Disayang ibu dan aku!”
Lagi-lagi saya tersentak. Dia benar. Ya memang begitulah seharusnya! Saya pancing terus dia, “Kalau ibu disayang siapa?” Dia menjawab tegas “Disayang aku sama Mpap” Hmm... Anak kecil itu selalu saja punya cara mengajari saya bersikap adil!!!

02 Juni 2008

Minta Maaf

Pernah mengajari anak balita untuk meminta maaf? Setelah ‘berantem’ dengan temannya, mungkin Anda hanya mengatakan, “Ayo baikkan!”, atau “Ayo minta maaf!” Bisakah mereka melakukannya? Mereka pasti tidak mengerti maksud Anda. Saya punya sebuah pengalaman bahwa mengajari meminta maaf kepada si kecil, bisa berhasil.
Suatu hari, seperti biasa saya memandikan putri saya, Syanita (waktu itu hampir 3 tahun usianya). Dia masih senang menggunakan bak mandi plastik. Selesai mandi, saya bersihkan baknya. Syanita yang sudah memakai handuk, menunggu saya. Biasanya ia masih bermain dengan bebeknya. Tapi pagi itu saya kaget, karena ia bermain dengan sabun. Tangannya disabuni lagi. Wah, saya kesal. Langsung saya rebut sabunnya dengan kasar. Saya pukul tangannya. Saya basuh tangannya dengan air dingin. Ia kaget. Menangis keras. Saya gendong dia masuk ke kamar. Mengeringkan badannya dan mendandani seperti biasa. Ia terus meraung-raung, meronta, membuat saya tambah marah. “Nggak boleh main sabun! Jangan nangis! Diem! Cepet pake baju, dingin!” Kata-kata itulah yang keluar dari mulut saya, sementara puri saya terus menangis. Anak saya juga berteriak, “Ibu nakal! Ibu nakal!” Akhirnya saya mengalah. “Iya, ibu nakal!” Biasanya memang seperti itu. Kalau saya sudah mengaku nakal, nangisnya berhenti.
Kejadian pagi itu sudah hilang dari ingatan saya. Tapi, rupanya tidak begitu bagi putri saya. Ia masih ‘dendam’. Ketika diajak tidur siang, dia menolak. Saya paksa dia tidur, dia malah minta jalan-jalan. Tapi saya tidak marah. Disuapi makan sore, malas-malasan. Saya pun tidak marah. Akhirnya ia mau makan. Tapi seharian itu ia memang terlihat uring-uringan, membuat saya sangat cape. Seharian itu ia tidak tidur siang, sehingga saya ingin cepat membuatnya tidur agar istirahatnya cukup. Rencananya, sehabis sholat Magrib saya akan menidurkannya. Setelah selesai sholat, biasanya anak saya akan mencium tangan saya dan saya mendoakannya. Tapi saat itu, anak saya diam saja. Rupanya ia masih ‘dendam’ kepada saya. Ia bahkan tidak ikut sholat bersama. Tiba-tiba saya berinisiatif, saya raih tangan mungilnya. Saya cium tangannya dan saya berkata dengan lembut kepadanya. “Sani, maafin ibu ya..., tadi ibu bikin Sani sedih ya? Sani sedih dipukul tangannya sama ibu?” Dia mengangguk lalu memeluk saya. Hmm... saya merasa benar-benar bersalah. Karena itu saya ulangi lagi meminta maaf kepada anak saya. “Sani maafin ibu ya!” Kali ini dia menangis. Saya gendong Syanita, membaringkannya di tempat tidur. Setelah membuka mukena, saya ikut berbaring di sebelahnya. Sani yang kecapean karena tidak tidur siang rupanya benar-benar sudah ingin tidur. Tapi hatinya baru terasa nyaman setelah ucapan maaf mengalir dari mulut saya. Saya jadi merasa sangat bersalah. Saya tepuk-tepuk pantatnya. Saya tawarin untuk bercerita. Dia mengangguk. Maka saya pun bercerita, dan ia langsung tertidur sambil memeluk saya. Keesokan harinya entah kenapa anak saya sulit diatur. Pagi-pagi setelah mandi, ia ingin memakai baju piyama. Ia menangis memaksa saya memakaikan piyama. Setelah berkali-kali dijelaskan bahwa baju piyama untuk dipakai sore sebagai baju tidur akhirnya anak saya menyerah. Tapi ia masih marah-marah. Siang hari Syanita masih membuat saya jengkel karena mau main di luar pada jam tidur siang. Saya tidak memarahinya sama sekali. Saya turuti permintaan ‘aneh’nya hari itu—jalan-jalan di siang hari. Tapi, ia tetap tidur siang, meskipun sudah agak sore. Saya memang menggerutu karena kesal dan mengadu kepada kakeknya soal tingkah laku Syanita. Ketika Maghrib, ia menolak sholat bersama. Tetapi ia memerhatikan sholat saya. Setelah saya selesai sholat, ia lari mendekat dan mencium tangan saya. Lalu ia berkata. “Ibu, maafin Sani ya...!” Saya terperanjat. “Hah, anak sekecil ini meminta maaf dengan cara begini? Dari mana ia belajar bersikap seperti ini?”, hati saya bertanya-tanya. Ingatan saya langsung kembali pada peristiwa kemarin. Saya terpana. “Oh, jadi ia ingat kemarin saya meminta maaf dengan cara seperti ini. Dan sekarang ia meminta maaf karena telah membuat saya jengkel sejak pagi sampai sore.” Saya tidak bisa menjawab permintaan maaf anak saya. Segera saya peluk Syanita sambil saya ciumi pipinya. “Anak pinter!” Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut saya. Syanita telah belajar meminta maaf dari cara saya meminta maaf yang saya lakukan terhadapnya.

29 Mei 2008

Belajar Hadis Nabi dari Syanita

Suatu hari saya memasak tumis pete kesenangan suami. Berbeda dari biasanya, suami saya makan dengan lahap. Mpap (dari kata Papap, panggilan putri kami, Sani kepada ayahnya), sampai nambah lagi. Saya hanya memerhatikan suami menikmati makanan favoritnya. Tiba-tiba Sani nyeletuk.
“Aduuh, itu yang lagi makan meni anteng!” (meni = sangat, anteng = asyik, bhs. Sunda. Meni anteng = asyik banget).
Saya tertawa, suami saya tertawa dengan rona wajah yang terlihat malu. Ayah saya, yang tinggal bersama kami tertawa terbahak-bahak.
“Ah, Syanita! Saya berkata, “Kasihan tuh Mpap, lagi makan enak dibilangin gitu sama kamu. Jadi aja Mpapnya malu mau nambah makan banyak!”
Suami saya memang meneruskan makannya, meski dengan perasaan tak karuan.
Saya hanya membatin, “Sani, anak pinter itu baru saja mengingatkan kami untuk berhenti makan sebelum kenyang, seperti anjuran Nabi Muhammad. Ia baru saja mengingatkan kami agar hidup sehat dengan mengurangi isi perut, seperti kebiasaan Nabi. Subhanallah, seru saya dalam hati. Seorang anak yang meski hanya melontarkan ucapan lucu, ‘Aduuh itu yang lagi makan meni anteng’ tapi Ia bisa menyampaikan sebuah pesan Nabi...”

Indahnya Bersyukur a la Si Kecil

Putri kami tidak terlalu sering diajak jalan-jalan, karena suami bekerja di Jakarta, sedangkan saya di Bandung. Tidak heran putri saya suka melihat dengan tatapan ‘tergiur’ melihat begitu seringnya tetangga kami membawa putra mereka berjalan-jalan naik mobil atau motor mereka. Putri saya kelihatan sangat ingin ikut tetangga, tapi tidak berani pergi tanpa saya. Dia memang masih berusia 3 tahun. Kadang dia merengek minta ikut pergi dengan tetangga kami—Om Ale, Tante Nina dan Revi alias Pipi—meski di perjalanan seringkali terlihat ‘tegang’ dan membuat tetangga saya cepat-cepat pulang. Suatu sore, putri saya merengek ingin ikut Pipi jalan-jalan sore bersama orang tuanya. Saya ijinkan karena dia memaksa. Hampir 1 jam kemudian mereka datang. Sani—putri saya seperti biasa ‘tegang’ di perjalanan. Begitu kata tetangga saya.
Ketika Sani turun dari mobil, Nina—tetangga saya mengajak ngobrol anak saya.
“Sani, seneng ya jalan-jalan sama Tante Nina, sama Om Ale, sama Pipi sore-sore! Asyik kan? Nanti mau lagi kan diajak jalan-jalan?”
“Nggak! Mau sama ibu sama Mpap aja! Naik vespa!”
Saya dan tetangga saya tertawa.
“Idiiiiih, punya vespa aja sombong! Enakkan naik mobil Pipi dong!” Canda tetangga saya.
“Nggak, enak naik vespa, sama ibu sama Mpap!” jawab anak saya.
Kami tertawa lagi mendengar jawaban putri saya.Diam-diam saya merasa terharu, bangga sekaligus senang mendengar jawaban polos putri saya. Ah, betapa dia telah mengajari kami untuk bersyukur dengan keadaan kami, meski belum mampu punya mobil, dia sangat senang dengan keadaan kami yang sederhana.

23 Mei 2008

Politik dan Keripik

Saya baru punya seorang putri berusia 3 tahun. Lagi lucu-lucunya. Cerewet. Tingkah lakunya sering membuat kami—orang tuanya, dan kakeknya yang serumah dengan kami tertawa terpingkal-pingkal.
Misalnya waktu ziarah ke makam almarhum ibu saya sebelum Ramadhan, saya ajak Sani ke pemakaman. Itu adalah pengalaman pertama baginya. Saya membawa kembang dan air dalam botol air mineral. Saya berdoa, saya menangis lalu kami kembali ke rumah. Pulang dari makam, tetangga saya yang punya anak sebaya putri saya bertamu seperti biasa. Anaknya laki-laki bernama Revi. Sementara kami—sesama ibu—mengobrol, anak-anak juga ngobrol. Kami akhirnya lebih tertarik mendengarkan obrolan Sani dan Revi.
“Pi, Ani tadi ke kuburan nenek.”
“Sama siapa?”
“Sama ibu sama Papap. Ibu nangis.”
“Pipi juga neneknya di kuburan.”
“Nenek Pipi lagi apa di kuburan?”
“Lagi diem aja.”
“Oh gitu”.
“Nenek Ani lagi apa di kuburan?”
“Nenek Ani mah lagi minum air putih.”
“Oh gitu!”
Saya dan tetangga saya terbelalak. Ha? Anak-anak bisa ngobrol seperti itu? Lalu saya tanya putri saya. “Ani, nenek lagi apa di kuburan?”
“Lagi minum air putih.”
Saya ingat, di makam tadi saya memang mengguyur kuburan ibu saya dengan air dari botol mineral. Langsung saya tertawa dan menjelaskan kepada ibunya Revi. Ia juga tertawa. “Ani, Ani. Pinter kamu!” katanya.
Meski baru berusia 3 tahun, Sani dan Revi memang suka ngobrol dengan gaya mereka. Mereka juga suka ikut dalam pembicaraan saya dan ibu Revi. Suatu hari misalnya, Ibu Revi menguji kemampuan putranya.
“Pi, kalau mobil Nenek Dea apa?”
“Avanza.”
“Kalau mobil Om Ari?”
“Kijang.”
“Mobil Ayah?”
“Carry.”
Suami saya tidak punya mobil tapi saya ikut nimbrung.
“Kalau mobil Papa Sani apa Pi?” tanya saya.
Revi diam. Anak saya yang menjawab dengan cepat. “Adanya Vespa.”
Saya dan ibunya Revi tertawa lepas.
Hampir setiap hari saya dan ibunya Revi berbagi cerita tentang kelucuan putra putri kami. Suatu hari ibunya Revi datang ke rumah sambil tertawa-tawa. “Bu Tita!” katanya, “Si Revi udah tahu politik lho!” Saya langsung tertawa. “Ah masa?” tanya saya.
“Kan gini, suami saya cerita ada temannya yang ditangkap polisi, sekarang ada di tahanan. Masalah politik, katanya.” Ibu Revi bercerita. “Tapi saya bilang sama suami saya. ‘Aku nggak ngerti, kok gara-gara politik bisa ditahan?’ Aku mah nggak ngerti politik”, tetangga saya menambahkan.
Eh, tiba-tiba Revi nyeletuk. “Mah, Pipi tahu politik.”
“Pipi tahu politik?”
“Iya, itu yang suka ada di warung!”
Tetangga saya berkata, “Saya dan suami saya bingung. Politik kok ada di warung? Akhirnya suami saya berkata.”
“Yang ada di warung mah keripik ‘kali Pi!”
“Oh iya. Sama kan?”
Saya dan suami saya tertawa mendengar cerita tetangga kami itu. Sani bersama saya ketika ibunya Revi bercerita. Setelah tetangga kami pulang, putri saya bertanya kepada kakeknya.
“Aki, tahu politik?”
Ayah saya kaget mendengar pertanyaan dari cucunya. “Nggak tahu! Ani tahu politik?” tanya ayah saya.
“Politik itu yang suka ada di warung!” jawab Sani mantap.
“Ada di warung? Kata siapa?” tanya ayah saya.
“Kata Pipi.”
Saya yang kebetulan mendengar obrolan Sani dan kakeknya langsung menjelaskan. Ayah saya tertawa terbahak-bahak. ***