20 Juli 2008

Balas Budi? Insya Allah

Syanita sering masuk angin. Biasanya penderitaannya berakhir kalau Ia muntah. Tapi, untuk muntah, sulit sekali. Karena itu, kalau terpaksa sampai muntah, saya siap menadahkan tangan saya untuk menampung muntahnya. Kebiasaan yang sama dialami Revi. Kata Nina, teman saya, Ia juga selalu siap menampung muntah Revi dengan tangannya. Mungkin semua orang tua begitu, siap melakukan apa saja untuk anaknya.

Nina sekarang hamil lagi. Bulan pertama, sedang pusing-pusingnya, tidak enak perasanaan dan sering mual tapi tidak muntah. Nina bercerita, suatu ketika, mualnya tidak tertahankan. Rasanya ingin muntah tapi tidak bisa. “Saya hanya mengeluh!” kata Nina. “Tahu nggak apa yang dilakukan Revi?” cerita Nina kepada saya. “Revi bilang begini. ‘Mama, mau muntah? Sok, silakan!’ Tangannya siap menampung muntah saya!” Nina bercerita sambil tertawa. “Aduuh ...! Saya jadi terharu!” tambah Nina. Saya ikut tertawa dan terhenyak. Dalam hati saya berkata, “Revi, Revi! Kecil-kecil sudah mau membalas budi orang tua. Mudah-mudahan akan selalu begitu! Amiin...”

Mamah Syanita, Papah Revi

Kalau sedang main bersama, yang dilakukan Syanita dan Revi biasanya adalah memainkan semua mainan. Mereka baru puas kalau sudah berantakan dan semua mainan diobrak-abrik.

Mungkin karena sudah bosan mengobrak-abrik mainan, sekarang Syanita dan Revi bermain Mamah-Papah. Saya sendiri heran, siapa yang mengajari mereka? Kenapa mereka bisa menjadi Mamah dan Papah? Dengan diam-diam saya sering memerhatikan keduanya. Misalnya seperti ini.

“Pah, mau sarapan? Mamah bikin nasi goreng ya?”
“Ya, mau!”

Kemudian Syanita mengambil kompor dan wajan mainannya. Dia berpura-pura masak nasi goreng. Revi memerhatikannya. “Jangan pedes, ya Mah!” kata Revi.
Saya tersenyum. Terus terang, saya pun tidak pernah se’mesra’ itu dengan suami.

Kemudian Revi pura-pura keluar rumah dan naik sepeda. “Mah, Papah pulang!” teriak Revi.

Lagi-lagi saya tersenyum. Lucu sekali mereka. Kemudian mereka pura-pura makan bersama memakai piring mainan. Romantis...!

Kalau sedang bermain Mamah-Papah, Syanita dan Revi tidak pernah berantem. Wajah mereka berseri-seri. Mata berbinar-binar. Saya jadi tertawa sendiri. “Harusnya memang begitu yang diperlihatkan suami dan istri ketika bersama! Wajah berseri-seri, mata berbinar-binar. ” Hmmm... ternyata benar, kita harus banyak dari anak-anak!

03 Juli 2008

Syanita Cepat Tanggap 2

Belanja bulanan ke supermarket ‘X’ dekat rumah kami yang ada arena bermain dan restoran fastfood yang ada perosotannya adalah hal yang ditunggu-tunggu Syanita. Dia sering memeriksa lemari makanan dan memeriksa susunya masih ada atau tidak. Kalau sudah kosong, dia akan memaksa saya belanja ke “X”. Itu artinya saya dan suami harus menemani Syanita sampai 3 jam di arena bermain dan makan sambil main perosotan. Ritualnya tidak boleh berubah, beli susu, main di arena bermain lantai3, terus ke restoran burger. Pulang sambil makan eskrim. Hmmm ...

Suatu hari susunya hampir habis, Syanita dengan senyum lebar mengajak saya belanja. Karena belum makan siang, saya berkata begini kepadanya:
“Syanita kan belum makan, belum istirahat, kalau mau belanja terus main tapi belum makan, belum istirahat, nggak enak. Badannya lemes!” Maksud saya, dia makan dulu di rumah terus bobo siang dulu dan belanja sore hari. Tapi Syanita dengan cepat menjawab:
“Ya udah kalau gitu, jangan beli susu dulu, kita makan dulu di McD, nggak main perosotan. Kalau aku udah kenyang baru main perosotan sambil makan es krim terus beli susu, terus main ke atas, terus pulang.”
Saya melongo. Suami saya terbahak-bahak.
“Wah, ibu nggak bisa jawab tuh!” kata suami saya.
Terus terang saya kehilangan kata-kata untuk menjawabnya. “Jawaban yang pinter!” pikir saya dalam hati. Saya dan suami mengalah, menemami Syanita makan, beli susu dan main. Ritual pun sudah mulai berubah!

Syanita Cepat Tanggap 1

Suatu hari kami menginap di rumah nenek dan Aki Enang (mertua saya) di Soreang. Keesokan harinya, kami siap pulang. Tiba-tiba suami saya mendadak lemas. Akhirnya dia malah tiduran. Padahal Syanita sudah ingin pulang ke rumah Aki. Dia menangis.
“Mpap, jangan sakit, aku mau pulang!” katanya.
Tapi suami saya tidak bergeming. Malah tidur.
“Nggak kuat, nanti aja pulangnya.” Suami saya berkata.
Syanita menangis. Nenek jadi khawatir. “Ya udah, Syanita pulang sama Aki Enang aja ya!” kata Nenek.
“Nggak mau, mau sama Mpap, sama Ibu!”
Wah repot kalau sudah begitu. Saya bujuk Syanita, “Kalau mau pulang sekarang, sama Aki Enang. Kalau mau sama Mpap, nanti sore kalau Mpap nggak lemes badannya!” Syanita berteriak, “Mau sekarang sama Mpap sama ibu!”
Akhirnya saya mencari akal agar dia mau pulang dibonceng Aki Enang karena saya juga khawatir melihat suami. “Syanita, kita pulang duluan terus ke rumah Revi, terus kita ke Soreang sama Om Ale jemput Mpap pake mobil Om Ale. Kasihan tuh Mpapnya sakit, harus naik mobil. Ya?”
Dengan cepat Syanita menjawab, “Telpon aja Om Alenya, suruh datang ke sini jemput Mpap!”
Saya melongo. Nenek tertawa lepas. “Pinter banget jawabannya!” kata Nenek. Saya tidak menyangka Syanita akan menjawab seperti itu. Itu adalah jawaban yang jitu. Meski ingin tertawa, saya pura-pura tidak mengerti maksudnya. Lalu saya mencari akal lagi.
“Gini sayang, Mpap kan sakit, kita beliin obatnya yuk, di apotik, perginya sama Aki Enang ya! Biar Mpap sembuh!” saya membujuknya.
Lagi-lagi Syanita menjawab dengan cepat, “Ibu aja yang beli obat ke apotik, aku tunggu di sini sama nenek!”
Lagi-lagi nenek tertawa terbahak-bahak dan berkata “Ih, pinter amat jawabnya!” Lagi-lagi saya melongo, tidak menyangka Syanita akan menjawab begitu. Akhirnya saya menyerah. Tidak lagi membujuk-bujuk Syanita pulang dengan Aki Enang. Saya lalu menawari suami makan lagi. “Makan banyak terus tidur dulu, mudah-mudahan nggak lemes lagi!” kata saya. Suami menurut. Alhamdulillah, setelah makan, kami bertiga tidur siang. Bangun sore hari, badan sangat segar, dan kami bisa pulang bertiga. “Gitu aja kok repot!” batin saya.