25 Juni 2008

Anak-anak Soleh?!

Tetangga saya, Nina, putranya sebaya dengan Syanita. Revi, teman Syanita sejak bayi, hampir tiap hari main bersama. Kadang kami menyebutnya ‘soulmate’ saking akurnya mereka.

Karena seringnya Syanita main di rumah Revi, dia sudah tahu betul perilaku Tante Nina. Diam-diam Syanita sering mengagumi Tante Nina. Pulang dari rumah Revi misalnya, Syanita meminta saya membuat telur dadar, “kaya Tante Nina, Bu, pake mentega!”

Pernah waktu saya terserang batuk agak lama, ketika tidur siang atau malam saya tak kuat menahan batuk dan Syanita terbangun. Dia menangis dan berkata, “Bu, jangan batuk aja, kaya Tante Nina, nggak batuk!”

Pernah pula Syanita menegur saya, “Coba ibu bisa naik motor, kaya Tante Nina! Tapi, ah, Ibu mah takut ya?”

Saking seringnya dia membandingkan saya dengan Tante Nina, tetangga saya itu menggoda saya, jangan-jangan nanti Syanita minta ibu pake baju seksi kaya Tante Nina! “Wah gawat! Apa mungkin ya?” Saya jadi bertanya-tanya di dalam hati.

Tapi, Alhadulillah, sampai saat ini Syanita tidak pernah meminta saya pake baju seksi atau dandan ‘lengkap.’ Mungkin Syanita tahu, ibunya tidak bisa begitu.

Yang kaget malah tetangga saya sendiri. Nina bercerita,
“Bu Tita, waktu saya dandan, saya ditegur sama Revi, katanya, ‘Mah jangan pake baju itu atuh, malu! Nih... Pipi ambilin kerudung ya.’”

Kami tertawa. “Kirain Bu Tita yang mau cerita disuruh pake baju seksi sama Syanita, ternyata malah saya yang disuruh pake kerudung sama Revi!” Tetangga saya berkata sambil tertawa “Dasar anak-anak soleh!” dia menambahkan. Amiin!

20 Juni 2008

Syanita – Jujur dan Teguh

Karena suami berkantor di lantai atas rumah kami, sehari-hari ada di rumah, keluar rumah kalau ada urusan. Suatu hari, pulang dari rumah temannya, (meskipun belum 4 tahun sudah senang main di rumah temannya) Syanita mencari-cari Mpapnya. Dia naik ke lantai atas tapi Mpap tidak ada. Saya sedang menyetrika. Saya mendiamkan saja, karena suami ada di kamar.
“Bu, Mpap mana?”
Bukannya menjawab jujur saya malah menggodanya.
“Mpap pergi.”
“Kok aku nggak diajak ya?” jawabnya memelas.
Saya terus menggodanya.
“Enakkan nggak ada Mpap ya!” pancing saya
Syanita melihat ke arah saya. Tidak langsung menjawab pancingan saya.
“Ibu mah lebih seneng nggak ada Mpap di rumah, nggak ada yang berisik!” saya terus memancing.
Akhirnya dia menjawab dengan ragu-ragu “Iya ya.. Seneng nggak ada Mpap!”
Tapi matanya menerawang.
“Nggak Bu, aku mah senang di rumah ada Mpap!”
Saya yakin suami saya mendengar semuanya, karena kamar tak jauh dari tempat saya menyetrika.
“Ibu mah nakal. Aku mah suka Mpap ada di rumah!”
Sambil berkata begitu Syanita berlari ke kamar. Pecah suara tawa dari dalam kamar. Mpap tertawa disusul Syanita. Terdengar suami saya bertanya, “Tadi bilang apa?”
“Aku mah bilang, aku seneng ada Mpap. Ibu yang bilang nggak seneng katanya, Mpap! Bukan aku.” Syanita menjawab dengan penuh kepastian.
“Ya, Mpap juga denger” balasnya.
Saya hanya ikut tertawa. Wah, bangga sekali suami saya karena pengakuan putrinya itu. Saya senang karena anak saya tidak mudah dipengaruhi, meskipun oleh ibunya sendiri.

19 Juni 2008

Syanita Tidak Suka Argumentasi

Syanita senang sekali mendengarkan cerita saya. Cerita yang saya buat mendadak ketika dia hendak tidur, atau cerita dari buku-buku kesayangannya. Tidak jarang saya mengarang dongeng dengan ‘misi’ tertentu. Misalnya untuk melarang Syanita makan permen loli, saya membuat cerita tentang “Lolita yang sakit gigi tidak bisa main dengan teman-temannya.” Suatu malam, terlintas dalam benak saya untuk bercerita tentang anak yang tidak suka pergi berbelanja ke supermarket dan main di arena permainannya. Sengaja saya mengarang seperti itu karena anak saya sering memaksa saya dan suami ke supermarket “X” dekat rumah saya, untuk jajan, ke arena permainan anak dan makan di restoran fastfood. Setelah saya bercerita, Syanita tidak berkomentar apa-apa.

Kemudian saya bercerita tentang anak yang tidak suka main di King’s Fun World. Sengaja saya rekayasa seperti itu, karena saya pikir anak saya sudah terlalu ketagihan main di arena permainan di pusat-pusat perbelanjaan. Saya bercerita tentang anak yang suka main tetapi kalau diajak ke King’s Fun World, dia hanya main sebentar dan memilih pulang untuk main di lapangan dekat rumah bersama teman-temannya.

Selesai bercerita, Syanita hanya berkomentar seperti ini. “Tapi aku mah suka main di King’s! Ya udah, Bu, cerita si burung hantu aja!”

Saya terheran-heran dengan jawaban singkat dan permintaan Syanita. Saya pikir dia akan marah kepada saya karena bercerita tidak sesuai dengan keinginannya. Ternyata dia hanya meminta saya bercerita yang lain. Tapi saya jadi kagum juga kepada putri saya itu. “Rupanya Syanita tidak suka beradu argumentasi. Dia memilih jalan lain yang ‘aman’, daripada harus ‘berantem’ dengan saya!” Saya pikir, itu adalah langkah bijak! Ya, bijak juga dia! Daripada harus melawan atau memprotes saya, yang akhirnya membuat kami harus beradu argumentasi, mengalah dan meminta saya mengalihkan topik adalah pilihan yang aman. Setuju?

17 Juni 2008

Minta Susu ala Syanita

Meski sudah hampir 4 tahun, Syanita masih minum susu botol. Biasanya kalau ingin minum susu dia hanya berkata, “Mau susu!” Kalau saya tidakmenghiraukannya, dia memperkuat intonasi suaranya, “Mau susu, sekarang!” Sebenarnya saya kurang setuju kalau Syanita terlalu banyak minum susu, karena itu saya sering menghiraukan permintaannya. Lama-lama ia malu sendiri karena terlalu sering minta susu. Ia punya cara tidak langsung minta susu, dan mengatakan seperti ini.
“Bu, aku mau bobo, tapi kok mulut aku diem aja ya... nggak ada isinya?”
Saya sebenarnya kaget dan ingin tertawa mendengar perkataannya, karena saya tahu betul apa yang dimaksud anak saya: minta susu!
Kalau sudah diminta dengan kata-kata seperti itu biasanya saya hanya tersenyum dan segera membuatkan susu untuknya.
Pada kesempatan lain, Syanita berkata seperti ini.
“Bu, apa itu yang di atas kulkas, yang coklat-coklat yang ada di tempat yang warnanya kuning, kok dari tadi aku belum nyicipin, ya?”
Diam-diam saya tertawa dalam hati. Saya kaget mendengar ucapan Syanita yang meminta susu dengan cara seperti itu. Saya sangat mengerti maksudnya, yang coklat-coklat itu adalah susu coklat, tempat warna kuning adalah tempat saya menaruh susu bukuk coklat itu.
Saya hanya berkata, “Bilang aja kamu mau susu!” Lalu saya membuatkan susu untuknya.
Lain lagi ketika pada suatu malam, ketika sudah siap tidur, Syanita mengepalkan tangan diatas mulutnya, dan berkata seperti ini: “Eh, kok di dalam tangan aku nggak ada apa-apanya ya Bu?” Syanita memperlihatkan gaya sedang memegang botol susu, tapi tanpa botol. Saya dan suami jadi tertawa terbahak-bahak. Dengan cara yang kreatif untuk meminta susu, saya dan suami tidak pernah bisa untuk menolaknya. Karena kreatif, sudah sepantasnya Syanita mendapatkan apa yang diinginkannya! Setuju?

TTS dan Syanita

Ayah saya sengaja membeli koran eceran setiap hari untuk mendapatkan Teka Teki Silang (TTS). “Biar otak nggak pelupa, diasah terus ngisi TTS,” kata aki-nya Syanita itu.

Itu sebabnya setiap hari ayah saya terlihat berpikir keras menyelesaikan TTS-nya. Syanita ternyata memerhatikan kebiasaan baru kakeknya, kemudian bertanya,
“Aki lagi apa?”
“Ngisi TTS” jawab ayah saya santai
Syanita kemudian memerhatian TTS, lalu menunjuk sesuatu sambil berteriak. “Ini kok masih kosong, nggak ada isinya!”
“Iya, aki nggak tahu jawabannya.”
“Kenapa nggak tahu?”
“Aki lupa”
“Kenapa lupa?”
Ayah saya tertawa, “Nanti aki lagi mikir dulu!”

Besoknya, pagi-pagi ketika aki sedang membaca koran, Syanita lalu mendekati.
“Ki, coba aku lihat TTS-nya.”
Aki menyodorkan koran. Syanita lalu mencari halaman TTS. “Kok, ini masih kosong, koo masih kosong!”
“Aki nggak tahu jawabannya!”

Ayah saya tertawa malu, lalu melihat ke arah saya. “Wah, jadi harus bener-bener ngisi TTS-nya. Aki malu sama Syanita!”
“Aki, kok nggak bisa? Diisi atuh,” anak saya berkata lantang.

Karena Syanita, ayah saya jadi sangat tekun mengisi TTS, kalau ada yang masih kosong, bertanya kepada saya. Pokoknya ayah saya selalu berusaha mencari tahu jawaban pertanyaan TTS yang unik. Kadang, kalau ada telpon, aki memanfaatkannya untuk bertanya jawaban TTS. Saya sering tertawa kalau melihat ayah sibuk bertanya kesana-kemari. “Daripada diomelin Syanita, nggak penuh ngisi TTS-nya.” Kata ayah saya.
Diam-diam saya juga jadi terpacu untuk berpikir demi membantu ayah saya menyelesaikan TTS-nya, daripada diomelin anak saya. Diam-diam Syanita sudah membuat kami mau terus berusaha, tidak menyerah pada keadaan!

03 Juni 2008

Belajar Adil dari Syanita

Kalau ditanya, anak saya biasanya menjawab dengan cepat. Jawabannya enteng, lucu, dan mengagetkan. Seperti ini misalnya,

“Syanita, anak kesayangan siapa? Ibu atau Mpap?” Saya pikir Ia mau menjawab
‘ibu’ saja atau ‘Mpap’ saja, karena saya mempersilakan Ia memilih. Ternyata putri saya menjawab dengan tegas.
“Kesayangan Ibu sama Mpap!”
Saya tersentak. Hmm... jawabannya bagus sekali. Kecil-kecil dia sudah bisa bersikap adil kepada orang tua... . Diam-diam saya merasa diajari untuk bersikap ‘adil’ juga.

Suatu hari saya bercanda dengan putri saya. Saya berkata begini, “Syanita anak kesayangan ibu. Mpap bukan anak kesayangan ibu!”
“Ya iya lah. Mpap mah anak kesayangan nenek!”
Saya tertawa. Saya pikir dia tidak akan menjawab begitu.
“Syanita disayang ibu!” Saya berkata. Ia menimpali dengan cepat, “Dan Mpap!” Saya sedikit kaget, tak menyangka Ia akan melanjutkan ucapan saya. Kemudian saya pancing dia.
“Kalau Mpap disayang siapa ya?” Saya pikir dia akan menjawab, disayang nenek! Ternyata putri saya menjawab, “Disayang ibu dan aku!”
Lagi-lagi saya tersentak. Dia benar. Ya memang begitulah seharusnya! Saya pancing terus dia, “Kalau ibu disayang siapa?” Dia menjawab tegas “Disayang aku sama Mpap” Hmm... Anak kecil itu selalu saja punya cara mengajari saya bersikap adil!!!

02 Juni 2008

Minta Maaf

Pernah mengajari anak balita untuk meminta maaf? Setelah ‘berantem’ dengan temannya, mungkin Anda hanya mengatakan, “Ayo baikkan!”, atau “Ayo minta maaf!” Bisakah mereka melakukannya? Mereka pasti tidak mengerti maksud Anda. Saya punya sebuah pengalaman bahwa mengajari meminta maaf kepada si kecil, bisa berhasil.
Suatu hari, seperti biasa saya memandikan putri saya, Syanita (waktu itu hampir 3 tahun usianya). Dia masih senang menggunakan bak mandi plastik. Selesai mandi, saya bersihkan baknya. Syanita yang sudah memakai handuk, menunggu saya. Biasanya ia masih bermain dengan bebeknya. Tapi pagi itu saya kaget, karena ia bermain dengan sabun. Tangannya disabuni lagi. Wah, saya kesal. Langsung saya rebut sabunnya dengan kasar. Saya pukul tangannya. Saya basuh tangannya dengan air dingin. Ia kaget. Menangis keras. Saya gendong dia masuk ke kamar. Mengeringkan badannya dan mendandani seperti biasa. Ia terus meraung-raung, meronta, membuat saya tambah marah. “Nggak boleh main sabun! Jangan nangis! Diem! Cepet pake baju, dingin!” Kata-kata itulah yang keluar dari mulut saya, sementara puri saya terus menangis. Anak saya juga berteriak, “Ibu nakal! Ibu nakal!” Akhirnya saya mengalah. “Iya, ibu nakal!” Biasanya memang seperti itu. Kalau saya sudah mengaku nakal, nangisnya berhenti.
Kejadian pagi itu sudah hilang dari ingatan saya. Tapi, rupanya tidak begitu bagi putri saya. Ia masih ‘dendam’. Ketika diajak tidur siang, dia menolak. Saya paksa dia tidur, dia malah minta jalan-jalan. Tapi saya tidak marah. Disuapi makan sore, malas-malasan. Saya pun tidak marah. Akhirnya ia mau makan. Tapi seharian itu ia memang terlihat uring-uringan, membuat saya sangat cape. Seharian itu ia tidak tidur siang, sehingga saya ingin cepat membuatnya tidur agar istirahatnya cukup. Rencananya, sehabis sholat Magrib saya akan menidurkannya. Setelah selesai sholat, biasanya anak saya akan mencium tangan saya dan saya mendoakannya. Tapi saat itu, anak saya diam saja. Rupanya ia masih ‘dendam’ kepada saya. Ia bahkan tidak ikut sholat bersama. Tiba-tiba saya berinisiatif, saya raih tangan mungilnya. Saya cium tangannya dan saya berkata dengan lembut kepadanya. “Sani, maafin ibu ya..., tadi ibu bikin Sani sedih ya? Sani sedih dipukul tangannya sama ibu?” Dia mengangguk lalu memeluk saya. Hmm... saya merasa benar-benar bersalah. Karena itu saya ulangi lagi meminta maaf kepada anak saya. “Sani maafin ibu ya!” Kali ini dia menangis. Saya gendong Syanita, membaringkannya di tempat tidur. Setelah membuka mukena, saya ikut berbaring di sebelahnya. Sani yang kecapean karena tidak tidur siang rupanya benar-benar sudah ingin tidur. Tapi hatinya baru terasa nyaman setelah ucapan maaf mengalir dari mulut saya. Saya jadi merasa sangat bersalah. Saya tepuk-tepuk pantatnya. Saya tawarin untuk bercerita. Dia mengangguk. Maka saya pun bercerita, dan ia langsung tertidur sambil memeluk saya. Keesokan harinya entah kenapa anak saya sulit diatur. Pagi-pagi setelah mandi, ia ingin memakai baju piyama. Ia menangis memaksa saya memakaikan piyama. Setelah berkali-kali dijelaskan bahwa baju piyama untuk dipakai sore sebagai baju tidur akhirnya anak saya menyerah. Tapi ia masih marah-marah. Siang hari Syanita masih membuat saya jengkel karena mau main di luar pada jam tidur siang. Saya tidak memarahinya sama sekali. Saya turuti permintaan ‘aneh’nya hari itu—jalan-jalan di siang hari. Tapi, ia tetap tidur siang, meskipun sudah agak sore. Saya memang menggerutu karena kesal dan mengadu kepada kakeknya soal tingkah laku Syanita. Ketika Maghrib, ia menolak sholat bersama. Tetapi ia memerhatikan sholat saya. Setelah saya selesai sholat, ia lari mendekat dan mencium tangan saya. Lalu ia berkata. “Ibu, maafin Sani ya...!” Saya terperanjat. “Hah, anak sekecil ini meminta maaf dengan cara begini? Dari mana ia belajar bersikap seperti ini?”, hati saya bertanya-tanya. Ingatan saya langsung kembali pada peristiwa kemarin. Saya terpana. “Oh, jadi ia ingat kemarin saya meminta maaf dengan cara seperti ini. Dan sekarang ia meminta maaf karena telah membuat saya jengkel sejak pagi sampai sore.” Saya tidak bisa menjawab permintaan maaf anak saya. Segera saya peluk Syanita sambil saya ciumi pipinya. “Anak pinter!” Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut saya. Syanita telah belajar meminta maaf dari cara saya meminta maaf yang saya lakukan terhadapnya.